Skip to main content

Trauma pada Suara ‘Bentakan’?

 #DearSenjaBlogCompetition

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah postingan di Instagram tentang lomba menulis blog yang diselenggarakan oleh Dear Senja (https://www.dearsenja.com/). Tema yang diusung cukup membuat saya tertarik untuk berpartisipasi dalam lomba tersebut. Alhasil, saya memutuskan untuk segera membuat tulisan ini.

Ilustrasi | Sumber: Dokpri.

Pada saat tulisan ini dibuat, saya masih seorang mahasiswa semester akhir yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi. Sebenarnya, saya bisa saja ngebut dalam mengerjakan tugas akhir saya ini karena menurut saya skripsi itu mudah. Hal yang membuatnya menjadi sulit adalah gangguan-gangguan yang sering datang ketika akan dan sedang mengerjakannya, dari godaan media sosial, hingga keadaan rumah yang seperti “neraka” bagi penghuninya.


Seorang wanita

Saya adalah seorang anak piatu. Ibu saya meninggal saat saya masih berusia tiga tahun. Setelah Ibu tak ada, saya diurus oleh Ayah seorang sampai pada akhirnya Ayah memutuskan untuk menikah lagi.

Ilustrasi | Sumber: pexels.com

Ayah menikah lagi ketika saya duduk di kelas satu sekolah dasar (SD) dengan seorang wanita yang juga pernah menikah sebelumnya (tetapi sudah cerai dengan suami sebelumnya). Sebelum hari pernikahan itu tiba, wanita itu sering datang ke rumah kami untuk mengunjungi Ayah. Ia tak datang sendiri, melainkan diantar oleh adiknya. Jika wanita itu datang, saya selalu disuruh oleh Ayah untuk pergi bermain dengan teman-teman, sepertinya ia ingin mengenal lebih dalam wanita itu sebelum sah menjadi istrinya.


Rumahku, (bukan) istanaku

Singkat waktu, Ayah sudah sah menikahi wanita itu yang kemudian ia menjadi ibu tiri saya. Awalnya, saya merasa baik-baik saja dengan kehadiran Ibu tiri, apalagi saya jadi ada teman jika Ayah sedang bekerja. Lambat laun, saya merasa tak nyaman, bahkan seringkali merasa tak aman. Bagaimana tidak? Ibu tiri saya sering memarahi saya hanya karena hal sepele, misalnya, ketika hanya karena saya lupa mematikan keran air.

Tak apa sebenarnya jika hanya memarahi dengan ucapan biasa dan menasihati. Masalahnya, ia sering memarahi saya dengan bentakan dan nada bicara yang tinggi (ngegas). Tentu saja, bukannya membuat saya segera minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi, hal itu malah membuat saya ketakutan.

Baru kali ini saya diperlakukan seperti itu. Ayah saya saja sama sekali tak pernah memperlakukan saya seperti itu. Ia tak pernah memarahi saya dengan nada bicara yang tinggi, apalagi sampai membentak, sama sekali tak pernah. Jika saya berbuat kesalahan, Ayah akan menasihati saya dengan nada kalem dan santai. Sehingga membuat saya langsung menuruti nasihat yang Ayah berikan.

Ilustrasi | Sumber: pexels.com

Hal tersebut tak terjadi hanya sekali dua kali, melainkan hampir setiap hari. Bahkan di beberapa kesempatan, tak jarang saya diperlakukan ‘lebih dari memarahi’ oleh Ibu tiri saya. Beberapa kali saya kena pukul, beberapa kali saya kena lemparan, beberapa kali juga barang-barang yang ada di sekitar saya dirusak olehnya. Salah satu barang yang paling sering dirusak adalah gorden kamar saya yang ditarik oleh Ibu tiri saya tatkala sedang marah. Pada akhirnya, hal itu membuat saya tertekan dan tak betah berada di rumah. Setiap berada di rumah dalam waktu yang lama seperti pada saat libur sekolah, saya merasa tak aman dan ketakutan.

Saya jadi berpikir, rumah yang seharusnya jadi tempat pulang yang nyaman malah menjadi tempat paling menakutkan. Pernah suatu ketika saat sedang membaca sebuah buku di perpustakaan, saya menemukan sebuah artikel yang berjudul “Rumahku, Istanaku”. Saya membaca artikel tersebut paragraf demi paragraf sampai di akhir artikel. Dan, saya tak setuju dengan isi artikelnya. Bagi saya, rumah itu mengerikan. Bukan seperti istana, melainkan seperti neraka yang siap membakar orang-orang berdosa. Rumahku, bukan istanaku.


Trauma pada ‘bentakan’

Saya tumbuh dan besar dengan ‘bentakan’ yang tak berkesudahan tiap harinya. Hal itu bukan membuat mental saya menjadi sekuat baja, melainkan malah membuat mental saya menjadi selemah kertas tisu. Saya jadi tertekan, cengeng, dan mudah menangis. Bahkan, saya jadi trauma pada suara bentakan. Saya sering merasa ketakutan ketika mendengar bentakan orang lain meskipun bukan Ibu tiri saya.

Pernah beberapa kali, ketika sedang asyik-asyiknya membaca atau mengerjakan tugas sekolah, lalu tak sengaja saya mendengar orang lain marah-marah sambil membentak dengan nada yang tinggi. Seketika itu fokus saya langsung terhenti dan hilang, berubah menjadi gemetar, deg-degan, dan ketakutan sambil berpikir, “apa yang akan terjadi dengan saya?”.

Tips menenangkan diri dari trauma | Sumber: Dokpri.

Beberapa menit setelah bentakan itu tak terdengar lagi, saya mulai menenangkan diri saya kembali. Mula-mula saya tarik napas dalam-dalam, lalu dikeluarkan secara perlahan. Saya melakukan itu beberapa kali hingga gemetar saya mulai menghilang. Setelah itu, saya kembali memusatkan diri saya kepada apa yang sedang saya kerjakan sebelumnya. Di beberapa kesempatan, saya menenangkan diri saya sambil mendengarkan musik agar diri saya menjadi lebih rileks.


Susah untuk fokus

Akibat trauma pada bentakan, saya juga jadi merasa takut ketika mendengar jeritan. Bentakan dan jeritan adalah dua hal yang sama bagi saya, sama-sama menakutkan. Hal itu membuat saya jadi orang yang susah untuk fokus, termasuk dalam mengerjakan skripsi.

Ilustrasi | Sumber: pexels.com

Masih ingat ‘gangguan’ dalam mengerjakan skripsi yang sempat saya singgung di awal? Gangguan yang paling sering menyerang saya adalah bentakan dan jeritan. Bentakan berasal dari Ibu tiri saya yang bahkan sampai sekarang masih sering saya dengar. Jeritan berasal dari adik saya (hasil pernikahan Ayah dan Ibu tiri) ketika keinginannya tidak terpenuhi. Bentakan dan jeritan itu tak hanya datang sekali dua kali, melainkan bisa beberapa kali dalam satu hari. Bagaimana saya bisa fokus mengerjakan tugas akhir saya?

Tak hanya pada saat mengerjakan skripsi, tatkala saya ingin membaca buku pun saya tak bisa fokus karena dua hal di atas. Bahkan ketika tulisan ini dibuat, saya pergi mengungsi ke tempat uak saya yang suasananya cenderung lebih menenangkan dan bisa membuat fokus saya tetap terjaga.


Apakah termasuk broken home?

Awalnya saya kira broken home hanya terjadi akibat pertengakaran dan perceraian orang tua saja. Ternyata saya keliru. Setelah mencari-cari informasi di internet, saya menemukan di laman blog Dear Senja (https://www.blog.dearsenja.com/), bahwa salah satu penyebab terjadinya broken home adalah adanya kekerasan emosional.

Ilustrasi | Sumber: pexels.com

Saya menganggap bahwa apa yang terjadi pada saya termasuk salah satu contoh kekerasan emosional, yang berarti saya termasuk anak yang terkena broken home. Dilansir dari blog Dear Senja yang saya baca, salah satu dampak negatif akibat broken home adalah adanya masalah di pencapaian akademik. Dan, saya mengalami hal itu. Skripsi saya tak kunjung selesai, alhasil jadi telat lulus dari teman-teman yang seangkatan dengan saya.


Cara mengatasi

Seiring berjalannya waktu, saya jadi menemukan pola bagaimana cara mengatasi dan menenangkan diri dari trauma pada bentakan akibat broken home. Walaupun tidak sampai menyembuhkan total, setidaknya dapat mengurangi tekanan yang saya rasakan. Berikut ini hal yang sering saya lakukan dalam mengatasi trauma tersebut.

  • Mendengarkan musik

Mendengarkan musik adalah hal paling mudah dan sederhana yang saya lakukan ketika ingin menenangkan diri dari rasa trauma yang saya alami. Kata-kata pada lirik sebuah lagu serta alunan-alunan indah pada instrumen dan aransemennya membuat hati saya terbawa dan menikmati rasa yang disampaikan oleh lagu tersebut. Bahkan tak jarang saya ikut bernyanyi karena saking menghayatinya.

Kalau lagu sedih, saya ikut terhanyut dalam kesedihan. Kalau lagunya semangat, saya jadi ikut bersemangat. Hal itu dapat membuat diri saya menjadi lebih rileks dan tenang serta melupakan sejenak rasa trauma yang saya alami.

  • Tidur

Hal mudah lainnya yang saya lakukan untuk mengurangi tekanan akibat trauma adalah dengan tidur. Biasanya, untuk melupakan sejenak masalah hidup, saya pergi tidur. Menurut saya, tidur dapat men-charge kembali energi yang telah terkuras akibat rasa trauma. Sehingga, jika kita memilih untuk tidur di saat setelah trauma kita muncul, maka ketika terbangun, energi kita akan kembali penuh dan siap untuk melakukan hal produktif. Rasa trauma pun sejenak menjadi terlupakan dan diganti oleh ketenangan.

  • Olahraga

Terkadang, kalau sedang mendengar suara bentakan dan jeritan, saya jadi ingin berteriak bahwa saya lelah dengan semua ini. Tapi saya tak pernah bisa melakukan itu, alih-alih berteriak, saya malah lebih sering menangis.

Saya sadar bahwa terlalu banyak tenaga yang harus dibuang tatkala menangis. Tak ada timbal balik yang saya dapat dari menangis selain hanya mata yang menjadi sembab. Pada akhirnya, daripada membuang-buang tenaga, saya keluarkan dan gunakan tenaga itu untuk berolahraga.

Olahraga dapat memberikan timbal balik bagi tubuh saya, yakni tubuh saya menjadi fit dan sehat. Semua kekecewaan dan kesedihan yang saya rasakan di rumah saya tumpahkan pada olahraga. Sehingga dapat membuat pikiran saya menjadi jernih dan melupakan sejenak rasa trauma saya.

  • Pergi bermain

Jika tiga cara di atas masih belum bisa membuat diri saya tenang dari rasa trauma, cara yang saya lakukan berikutnya adalah dengan bermain keluar rumah. Entah bermain sendiri dengan pergi ke tempat-tempat yang dapat menenangkan hati seperti pantai, ataupun bermain dengan teman-teman sambil seru-seruan bercanda tawa.

Bagi saya, bermain keluar rumah ini termasuk cara yang cukup ampuh dalam upaya menenangkan diri dan mengurangi tekanan akibat trauma. Apalagi jika posisinya kita memang sedang membutuhkan liburan dan hiburan, cara ini sangat cocok untuk diterapkan.

  • Mengungsi

Cara ini saya lakukan khusus ketika sedang dalam proses menyelesaikan tugas atau mengerjakan suatu proyek. Cara ini dilakukan untuk menjaga fokus saya dalam menyelesaikan tugas atau proyek tersebut. Sehingga jika fokus saya dapat terjaga dengan baik hingga selesai, maka hasilnya pun akan maksimal.

Biasanya, tempat yang paling sering saya jadikan tujuan mengungsi adalah tempat saudara saya yang jaraknya tak jauh dari rumah. Selain itu, saya juga beberapa kali memilih kobong teman saya untuk mengungsi. Dua tempat itu sering saya jadikan tempat mengungsi karena suasananya yang membawa ketenangan dan ketenteraman.

Tips mengurangi tekanan akibat trauma | Sumber: Dokpri.


Penutup

Sebagai orang yang pernah merasakan broken home, saya benar-benar merasakan derita batin yang cukup rumit. ‘Bentakan’ yang sering saya terima sedari kecil tanpa berkesudahan menjadi trauma tersendiri bagi saya.

Untuk menenangkan diri dari trauma, saya terbiasa melakukan hal-hal yang menurut saya masih bisa saya lakukan tanpa memberi tahu orang rumah, termasuk Ayah saya. Hal-hal tersebut adalah dengan mendengarkan musik, tidur sejenak, olahraga, bermain keluar rumah, dan mengungsi sejenak.

Namun saya menyarankan, jika keadaan ekonomi kalian sedang baik, alangkah baiknya untuk berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater. Tujuannya adalah agar trauma yang dirasakan bisa sembuh total sehingga tak meninggalkan tekanan yang berat dalam menjalani kehidupan.


Referensi

CNN Indonesia. (2021, December 27). Studi: Olahraga Bantu Atasi Duka dan Depresi Setelah Kehilangan. CNN Indonesia. Retrieved February 4, 2023, from https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211227122600-260-739075/studi-olahraga-bantu-atasi-duka-dan-depresi-setelah-kehilangan

Dear Senja. (2022, August 10). Apa Itu Broken Home? Ini Penyebab, Dampak, & Cara Mengatasinya. Blog Dear Senja. Retrieved February 4, 2023, from https://www.blog.dearsenja.com/family/apa-itu-broken-home-ini-penyebab-dampak-cara-mengatasinya/

Detik. (2014, July 2). Tidur, Obat Alami Atasi Galau dan Hilangkan Trauma Ketakutan Berlebih. detikHealth. Retrieved February 4, 2023, from https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2626159/tidur-obat-alami-atasi-galau-dan-hilangkan-trauma-ketakutan-berlebih

Halodoc. (2019, December 6). Musik Bisa Meredakan Gangguan Kecemasan, Benarkah? Halodoc. Retrieved February 4, 2023, from https://www.halodoc.com/artikel/musik-bisa-meredakan-gangguan-kecemasan-benarkah

Halodoc. (2020, September 7). Alami PTSD, Kapan Waktu Terbaik untuk ke Psikolog? Halodoc. Retrieved February 4, 2023, from https://www.halodoc.com/artikel/alami-ptsd-kapan-waktu-terbaik-untuk-ke-psikolog

Comments

Popular posts from this blog

Data Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2020 – 2022 (Berdasarkan Data BPS Banten)

Kemiskinan adalah permasalahan sosial yang serius di seluruh dunia. Hal ini terjadi ketika individu, keluarga, atau komunitas tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumber daya ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan peluang lainnya yang penting untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan taraf hidup mereka. Kemiskinan tidak hanya melibatkan keterbatasan finansial semata, tetapi juga kekurangan dalam berbagai aspek kehidupan. Orang-orang yang hidup dalam kemiskinan sering mengalami kesulitan dalam memperoleh makanan yang cukup, air bersih, sanitasi yang layak, perumahan yang layak, pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja yang layak. Mereka sering terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang sulit untuk ditinggalkan. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan dalam suatu negara atau wilayah adalah jumlah penduduk miskin. Data tentang jumlah penduduk miskin membantu dalam memahami dan merencanakan kebijakan untuk mengatasi masalah ke

Menggali Kelebihan ASUS Vivobook Go 14 Flip yang Bikin Saya Jatuh Cinta

  Kemarin siang, sekitar pukul 14.00 WIB, saya menjalani proses wawancara yang sangat dinanti-nantikan. Wawancara ini dilakukan secara daring melalui platform Google Meet, tautan untuk pertemuan ini telah dikirimkan oleh pihak HRD sebelumnya. Sumber foto: asus.com Awalnya, saya sangat bersemangat menunggu momen ini karena merupakan pengalaman pertama saya mengikuti wawancara. Namun, ketika HRD masuk ke dalam ruang virtual, saya segera menghadapi kendala yang tidak terduga. Suara yang saya ucapkan tidak terdengar di sisi mereka, sementara suara HRD terdengar dengan jelas di pihak saya. Ketika menghadapi masalah ini, perasaan saya menjadi sedikit terguncang. Saya berharap semuanya akan berjalan lancar, mengingat saya sebelumnya tidak pernah mengalami masalah serupa saat menggunakan platform lain seperti Zoom Meeting dengan perangkat keras yang sama. Namun, ternyata situasinya berbeda kali ini. Akhirnya, HRD mengambil inisiatif untuk melanjutkan wawancara melalui WhatsApp dengan tujuan me

Belajar Data Science Lancar Tanpa Ngelag dengan ASUS Vivobook Pro 14 OLED (M3400)

Sebagai mahasiswa semester akhir, saya tentunya dituntut untuk memiliki skill yang akan digunakan dalam dunia kerja. Skill yang dibutuhkan sesuai jurusan saya adalah mengajar. Ya, mengajar. Hal itu dikarenakan saya berkuliah di jurusan yang amat sangat berkaitan dengan dunia pendidikan, tepatnya jurusan Pendidikan Matematika. ASUS Vivobook Pro 14 OLED | asus.id Namun sejujurnya, saya kurang begitu senang jika disuruh mengajar. Bukan karena tidak ikhlas atau sejenisnya. Melainkan karena tiap kali dipercaya untuk mengajar, saya merasa takut tidak bisa menjadi pengajar yang baik untuk siswa. Hal itu disebabkan oleh karena saya merasa bahwa kemampuan public speaking saya yang masih kurang dan jauh dari sempurna. Sehingga saya khawatir, bukannya membuat siswa betah dan nyaman dalam mengikuti proses pembelajaran, malah membuat siswa cenderung bosan dan malas untuk memerhatikan. Untuk itu, karena saya merasa sepertinya saya tidak bisa menjadi maksimal jika mengajar, maka saya berpikira