Sumber foto : pexels.com
Sob, kalau lagi hari libur atau kamu gak berangkat ngampus
karena dosen minta cuti, kamu milih ngabisin waktu luang kamu di mana? Nonton
drama Korea sambil tiduran di dalam rumah, atau lebih milih main keluar rumah
dan ketemu doi? Kalau saya pribadi sih milih ngabisin waktu di rumah.
Sekali-kali istirahat dari tugas-tugas dosen di kampus. Selain hemat tenaga,
juga hemat uang. Karena ketika main keluar, jarang deh ada orang yang tidak
menghabiskan uangnya walaupun itu seminimal mungkin. Kalaupun ada, toh hanya
sebagian orang saja.
Hari libur memang sesuatu yang dianggap sebuah “kemerdekaan”
di kalangan semua orang. Baik siswa maupun mahasiswa dan bahkan seorang pekerja
sekalipun, sangat senang dengan kedatangan tamu mereka yang satu ini, meskipun
terkadang hanya satu atau dua hari saja. Libur sehari saja sudah terasa seperti
seminggu, apalagi kalau liburnya seminggu, berarti berasa sekitar 7 minggu atau
49 hari atau 1 bulan 19 hari dong liburnya. Wow, lumayan lama juga ya. Cukup
kayaknya buat liburan keliling Eropa, atau bahkan bisa cukup buat pergi haji,
tentunya itu juga kalo emang kebetulan bertepatan dengan bulan-bulan
diperbolehkannya haji ya.
Setiap orang memiliki berbagai cara untuk menghabiskan waktu
luang di hari libur. Ada yang memilih menghabiskannya diam di rumah saja
—termasuk saya pribadi, ada juga yang memilih untuk main keluar rumah bersama
kawan-kawan, atau bahkan sepanjang hari libur dihabiskan dengan jalan bareng
doi ke tempat yang doi mau. Apa gak malu ya disebut “bucin” karena tiap hari
libur selalu perginya bareng doi dan bukan bareng kawan-kawan? Entahlah,
mungkin dia malu, tapi di satu sisi dia “terpaksa”.
Untuk orang yang
biasanya menghabiskan waktu libur di rumah, tentu saya tahu yang mereka
kerjakan —karena saya sendiri juga termasuk ke dalam golongannya. Kegiatan yang
dilakukan pasti hanya itu dan itu saja. Mulai dari bangun tidur, mandi, makan,
nonton film —bisa jadi drama Korea atau film-film barat dan bahkan kartun
Spongebob Squarepants, baca buku kadang-kadang, nyuci —itu juga kalau nyuci
sendiri, keluar rumah hanya ke warung atau pergi berjama’ah ke masjid kalau dengar
adzan —kalau gak dengar ya diam aja di rumah, bahkan sampai tidur lagi di malam
hari hanya kegiatan itu saja yang dilakukan bagaikan perjalanan rantai makanan
dalam ilmu biologi. Kalaupun ada hal baru, mungkin hanya satu atau dua kali
saja dilakukannya. Atau ketika ada saudara atau teman yang main ke rumah. Mau
nolak gak enak, ya akhirnya siap atau tidak harus rela melakukan hal-hal yang
jarang dilakukan, walaupun itu melelahkan.
Berbeda dengan yang
menghabiskan waktu liburnya di luar rumah. Mereka bisa main ke tempat yang
mereka mau, tentunya sama teman ya, bukan sama doi —karena kalau sama doi ya
siap-siap aja bakal banyak diaturnya sama dia dan kitanya juga jadi gak bebas.
Di luar rumah, lebih banyak pelajaran dan pengalaman yang didapat, tapi tetap
saja harus selalu sedia uang, khawatir haus pengen minum atau bahkan lapar
pengen makan dan posisi kita sedang berada di tempat asing, mau minta malu,
nyuri apalagi dosa, jadinya ya harus beli. Lalu kenapa saya lebih memilih diam
di dalam rumah bukan main ke luar rumah? Ya, karena saya tipe orang yang lebih
nyaman diam —eit, bukan berarti pemalas lho, diam di sini juga kalau selesai
mengerjakan kewajiban rumah semisal nyuci dan bantu orang tua, baru setelah itu
diam sambil biasanya baca buku. Juga salah satu alasannya karena menghemat
uang, ya karena kalau hari libur gak dapet tambahan uang.
Tapi terkadang, sebagai seorang anak, menghabiskan waktu
libur di dalam maupun di luar rumah sama saja. Sama-sama kena omel orang tua.
Ya bagaimana tidak, ketika anak menghabiskan waktu liburnya di dalam rumah,
orang tua malah bicara, “diam di rumah mulu, kenapa gak main?”. Terus nanti
kalau dijawab “males main”, malah direspon dan dicap sebagai “anak pemalas”.
Padahal kalau yang namanya pemalas itu yang kerjaanya tidur terus di rumah, lha
ini kan diam di rumah tidak tidur (kecuali malam), diam di rumah juga setelah
beres bantu-bantu, kok masih saja dicap sebagai pemalas. Saya jadi heran.
Lalu ketika menghabiskan waktu libur di luar rumah, pulangnya
ditegur, “main mulu, gak ada kerjaan lain apa?”. Terus kalau membantah,
dibilang “anak durhaka”, ya walaupun memang menurut hukum tidak boleh membantah
orang tua. Tapi peristiwa yang sering terjadi kepada “sang anak” ini tentunya
membuat perasaan jengkel, anak siapapun dan di mana pun ia, pasti merasakan hal
yang sama ketika mengalami peristiwa semacam ini.
Saya jadi tambah heran. Apa segitu salahnya ya peran anak
dalam menghabiskan waktu libur hingga di dalam maupun di luar rumah selalu kena
omel dan tentunya kena “cap” dari orang tua? Atau kita tidak diperbolehkan
mendapat jatah libur? Lalu kita sebagai anak harus berbuat apa agar menjadi
benar pada penilaian orang tua?
Entahlah, ketika disodorkan pertanyaan seperti itu membuat
saya bingung tentunya. Merasa serba salah juga. Saya berpikiran ternyata lebih
enak tinggal di pondok, baik itu pondok indah maupun pondok pesantren, karena
selain ada banyak kegiatan yang bermanfaat tentunya tidak selalu kena “omel”
orang tua. Saya juga berpikir, andai saja saya tinggal di pesantren atau
setidaknya kost dekat dari kampus, mungkin sedikit merasa lebih tenang. Tapi
walaupun begitu, tetap bagi saya, “rumahku, surgaku”. Meski sering kena omel,
tetap rumah merupakan tempat paling nyaman di dunia ini setelah masjid. Kenapa
setelah masjid? Karena di masjid itu adem dan tenang.
Comments
Post a Comment