Sumber foto: pinterpolitik.com
Songkok, atau
yang biasa disebut dengan “peci” merupakan sebuah jenis kain penutup kepala
dari beberapa jenis penutup kepala lainnya. Di Indonesia, songkok atau peci ini
sudah tak lazim lagi dipakai dan digunakan untuk berbagai hal, seperti yang
paling sering digunakan adalah untuk beribadah umat Muslim, atau pun biasa
dipakai oleh para pejabat laki-laki dalam beberapa acara resmi, bahkan sampai
digunakan oleh para anggota paskibra pada saat mengibarkan sang saka bendera
merah putih, baik pada upacara dalam rangka “HUT RI” maupun upacara yang biasa
dilakukan di setiap hari Senin.
Meskipun
songkok atau peci terasa sudah khas berada di Indonesia, namun asal muasalnya
sendiri bukan dari Indonesia. Sama halnya dengan bunga tulip khas Belanda yang
awalnya dibawa oleh bangsa Turki, songkok atau peci juga berasal dari bangsa
Turki di masa kekaisaran Ottoman, yang oleh mereka disebut dengan nama “fezzy”
atau topi fez. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwasannya songkok atau
peci berawal dari Indonesia sendiri, yakni dikenalkan oleh Sunan Kalijaga,
walaupun buatan Sunan Kalijaga tersebut berukuran lebih kecil dari peci pada
umumnya.
Di kehidupan
sehari-hari, songkok atau peci ini lebih banyak diidentikkan sebagai ciri khas
orang Muslim. Padahal sesungguhnya, yang membedakan antara orang Muslim dengan
orang non Muslim adalah pada ibadahnya dan kepercayaannya, bukan pada
penampilannya. Di kampus tempat saya kuliah, mahasiswa yang memakai peci biasa
disebut “Pak ustadz” oleh kawan-kawannya, termasuk saya sendiri. Tersinggung sih
tidak, malah biasa-biasa saja. Yang membuat saya bingung adalah ada beberapa
orang —yang berbeda jurusan— yang salah pemahaman terhadap peci, yang
diantaranya pernah berkata kepada saya, “kamu tidak malu memakai peci ketika
yang lain tidak memakainya? Bahkan kamu selalu menjadi pusat pandangan
orang-orang ketika lewat di hadapan mereka”, begitu ucapnya. Saya tanggapi
membalas ucapannya hanya dengan, “tidak, biasa saja”. Dan setelah itu ia pun
pergi.
Sebenarnya di
dalam hati, saya berujar ingin meluruskan pandangannya mengenai peci, namun
saya agak malas berurusan dengannya, khawatir memperpanjang masalah. Sebagai
salah satu dari beberapa mahasiswa berpeci, saya bukan merasa malu seperti yang
dikatakan orang tadi, malah saya merasa bangga karena hal tersebut merupakan
sesuatu yang langka. Di samping itu, saya sangat mengidolakan Ir. Soekarno yang
terkenal senang memakai peci ke mana pun ia pergi, meskipun saya bukan anggota
dari organisasi yang sangat nasionalis. Menjadi mahasiswa berpeci juga bisa
membantu seseorang yang baru dikenal atau bahkan dosen sekalipun mengingat kita
dengan mudah, sehingga tidak susah mencari kita ketika sedang dibutuhkan.
Terkait
pandangan orang-orang tentang songkok atau peci sebagai ciri khas orang Muslim,
saya tidak menyetujuinya. Jika mengatasnamakan Islam di dunia, kita lihat orang
Muslim di negara lain tidak mengenakan songkok atau peci, melainkan menggunakan
penutup kepala khas negara masing-masing, semisal orang Timur Tengan dan India,
mereka mengenakan serban jika akan melaksanakan shalat. Jika mengatasnamakan
Islam di Indonesia, ada juga orang non Muslim yang memakai peci, tidak hanya
orang Islam saja. Bahkan para pejabat
laki-laki sudah biasa memakai peci tanpa harus mempertanyakan apa agamanya.
Menurut saya
sendiri, songkok atau peci merupakan simbol nasionalisme, bukan simbol agama.
Hal ini dapat terlihat dari sudut pandang sejarah, bahwasannya para aktivis di
Indonesia seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, M. Yamin, dan lainnya banyak
yang memakai songkok atau peci, bahkan Ir. Soekarno tetap memakai peci walaupun
sedang pergi ke negara tetangga, seakan-akan menunjukkan jati diri bahwa
dirinya adalah orang Indonesia.
Comments
Post a Comment