Beberapa
malam yang lalu, saya beserta masyarakat pengajian Al-Awwabin diundang di salah
satu acara. Acara tersebut adalah syukuran khitanan putra dari salah satu guru
saya di Madrasah yang dibarengi dengan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad
SAW, meskipun sebenarnya bulan Rajab telah terlewat.
Sudah
biasa jika terjadi hal seperti itu di daerah sini. Meskipun bulan Rajab telah
terlewat, perayaan Isra’ Mi’raj masih ada yang melaksanakannya di bulan
berikutnya, yaitu bulan Sya’ban. Bukan, bukan karena ‘mawa maneh’ ataupun ‘sakarepmu’.
Tapi memang baru diberi rezeki di bulan Sya’ban. Dan, karena saking inginnya
merayakan peringatan Isra’ Mi’raj, maka bulan Sya’ban pun jadi, toh masih
berdekatan juga urutan bulannya.
Sebenarnya,
jika ditelisik, ada 2 kemungkinan Allah SWT memberikan rezeki kepada seorang
hamba sedikit agak telat, atau dalam kasus ini diberikan di bulan Sya’ban. Kemungkinan
pertama, untuk menguji keimanan dan kecintaan seorang hamba kepada Nabi
Muhammad SAW. Apakah jika rezekinya diberikan di bulan Sya’ban ia akan tetap
merayakan peringatan Isra’ Mi’raj ataukah sudah pasrah dan malah tidak jadi
merayakan. Apakah tetap ‘keukeuh’ (bersikeras) ataukah malah jadi malas. Untuk jawabannya,
kembali kepada masing-masing hamba.
Kemungkinan
kedua, untuk memberi peringatan dan/atau
menegur hamba. Siapa tahu seorang hamba terlalu lalai dalam beribadah
ataupun jarang bahkan enggan berbuat baik kepada sesama ketika justru diberikan
rezeki tepat waktunya. Kita tidak pernah tahu apa alasan atas kehendak Allah
SWT. Satu hal yang pasti, kehendak-Nya tentunya adalah pilihan terbaik untuk
masing-masing hamba.
Kembali
ke acara khitanan. Saya dan beberapa jamaah sebenarnya agak kaget ketika
melihat pada spanduk bahwa penceramah malam itu ada 4 orang. Terkadang, satu
penceramah saja bisa selesai larut malam sekali, apalagi ini empat orang. Bahkan
saya sendiri sempat ragu apakah akan menghadirinya ataukah tidak. Namun, karena
yang punya hajat kali ini adalah salah satu guru saya, dan saya sebagai
tetangganya (meskipun beda RT dan RW) merasa harus menghadirinya.
Diawali
dengan penampilan hadroh, kemudian tak lama, acara dimulai. Seperti biasa ada lantunan
ayat suci Al-Qur’an, lalu dilanjut dengan Marhaba. Marhaba yang dipakai adalah Marhaba
versi Maula Ya dengan diirngi oleh tim hadroh, menambah keberkahan acara ini.
Kemudian
sambutan-sambutan, lalu kiai penceramah pertama. Masih muda, yang ternyata masih
satu almamater dengan saya di Madrasah. Hanya saja beda umurnya lumayan jauh,
kira-kira beda 5 tahun. Kerennya, dia sudah jadi kiai dan punya pondok
pesantren di kampungnya.
Pembahasan
yang dibawakan oleh Kiai pertama tersebut asyik, apalagi di awal-awal. Mulai di
tengah-tengah, pembahasan yang dibawakannya menurut saya sedikit agak berat,
yaitu tentang ilmu tasawuf. Saya sempat khawatir, kira-kira, apakah saya akan
bisa mencernanya atau tidak? Untungnya, kiai tersebut mambawakannya dengan
dibarengi contoh dalam kehidupan sehari-hari, juga diiringi dengan candaan khas
seorang penceramah. Sehingga pembahasan yang dibawakan jadi mudah dipahami dan
dicerna oleh otak.
Setelah
kiai pertama selesai, sambutan selanjutnya disampaikan. Dan setelah itu, naiklah
kiai kedua. Ia dari salah satu kota madya. Ia juga masih sama, sama-sama satu
almamater di madrasah, hanya saja jauh sekali perbedaan tahunnya. Awal pembahasan,
saya tidak terlalu paham apa yang disampaikannya. Barulah di tengah-tengah,
pembahasannya mulai saya pahami. Beliau juga mulai menyesuaikan cara
penyampaian yang digunakannya dengan masyarakat sekitar. Sehingga masyarakat
cukup menikmati ceramah kiai kedua ini dan tentunya kiai pertama juga
sebelumnya.
Kiai
kedua selesai, diselingi sambutan lagi. Sambutan selesai, kiai ketiga naik. Entah
mengapa, dari awal kiai ketiga ini berjalan menuju panggung, saya sudah mulai
merasa kurang ‘srek’ dengan kiai ini. Ekspresinya menunjukkan keangkuhan bagi
saya. Saya tidak tahu apakah orang lain berpikiran sama dengan saya atau justru
berbeda. Fyi, dia juga sama-sama satu almamater dengan kiai pertama dan kedua,
dan satu angkatan dengan kiai kedua.
Di
awal pembahasan, tidak ada hal yang macam-macam, masih pembahasan yang pas
dengan tema dan acara. Namun, menginjak pertengahan, saya mulai tidak nyaman dengan
apa yang dibahasnya. Bagaimana tidak? Acara syukuran khitanan dan perayaan Isra’
Mi’raj ia sangkut pautkan dengan politik. Bahkan mulai melenceng dan sama
sekali tak ada sangkut pautnya dengan inti acara. Politik menurut pandangannya
ia gembar-gemborkan dalam ceramah tersebut. Bahkan dengan nada kebencian kepada
oposisinya dalam hal politik. Ia juga sempat menyinggung tentang ‘kembali ke NU
yang dulu, NU-nya mbah Hasyim’. Kita tahu bahwa NU adalah organisasi Islam
terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Namun saya rasa ia tak pantas melontarkan
kata-kata tersebut. Seakan-akan ia tahu segalanya tentang NU. Seakan-akan ia
adalah manusia reinkarnasi yang sebelumnya pernah hidup di zaman mbah Hasyim
dan lahir kembali di masa kini.
Lama
sekali rasanya ia ceramah dengan pembahasan yang melenceng jauh dari pembahasan
seharusnya. Membuat saya malas dan ingin segera pulang. Namun saya tidak ingin
pulang duluan dikarenakan ada penceramah terakhir yang saya tunggu-tunggu. Dan
akhirnya, giliran kiai ketiga ini selesai. Saya senang, bersyukur, dan berharap
tidak bertemu lagi dengannya atau dengan kiai semacamnya yang menyusupi politik
ujaran kebencian di dalam ceramahnya.
Dan,
tibalah yang ditunggu-tunggu. Kiai keempat. Ia berjalan ke panggung dengan
ramahnya. Dari wajahnya saja sudah terlihat meneduhkan hati, terpancar kebaikan
dan ketenangannya. Beliau masih satu kerabat dengan guru saya yang punya hajat.
Istrinya masih satu almamater dengan kiai-kiai sebelumnya. Dan istrinya adalah
sepupu dari guru saya yang punya hajat tersebut. Jadilah dua-duanya sebagai kerabat.
Tak lama, ceramahnya pun dimulai.
Beliau
berceramah dengan gaya kalemnya. Banyak tersenyum, candaan dan pembahasannya disenangi
semua jamaah yang hadir di acara tersebut. Cara penyampaian yang mengasyikkan,
meneduhkan hati, dan pembahasannya yang dibarengi contoh dalam kehidupan
sehari-hari mudah untuk dipahami dan dicerna oleh otak. Tidak melencengkan pembahasan
ke arah yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan tema acara, apalagi politik.
Hingga tak terasa, waktunya berceramah sudah habis karena waktu sudah terlalu
larut. Beliau menyudahi ceramahnya dan turun dari panggung.
Acara
ditutup dengan doa bersama. Selesai doa bersama, semua jamaah pulang ke rumahnya
masing-masing dengan membawa oleh-oleh ala kadarnya yang dibagikan oleh
panitia. Acaranya seru dan mengasyikkan, walaupun sempat dirusak oleh orang
yang malah menyusupi politik ujaran kebencian di dalamnya.
Di
antara keempat kiai penceramah, saya paling nyaman dan menikmati kiai keempat. Untuk
tipe orang seperti saya, penceramah yang kalem, asyik, dan menyampaikan
pembahasan sesuai tema dan acara yang seharusnya lebih mudah dipahami dan
dicerna oleh otak, bahkan dinikmati dan ditunggu ceramah berikutnya dari kiai
seperti itu di lain tempat.
Contohnya
yaitu kiai keempat tadi. Bukan berarti penceramah sebelum-sebelumnya tak hebat.
Melainkan, kapasitas otak saya hanya bisa menampung ceramah yang kalem, seru,
dan bahasa serta penyampaian yang mudah diikuti dan dipahami. Apalagi wajah
kiainya meneduhkan hati. Maafkan saya kalau tidak sependapat, sekian dan terima
kasih.
Comments
Post a Comment