Skip to main content

Wabah dan Kurangnya Social Distancing dalam Literatur Islam - Catatan

 

Sumber foto : pexels.com

Akhir-akhir ini, dunia sedang dalam keadaan genting disebabkan oleh merebaknya wabah sebuah jenis virus yang dikenal dengan Covid-19 atau singkatnya disebut virus Corona. Wabah virus Corona ini pertama kali ditemukan kasusnya di daerah Tiongkok, tepatnya di kota Wuhan. Hal yang menyebabkan munculnya virus Corona di kota Wuhan tersebut masih menjadi perdebatan dikarenakan ada beberapa asumsi terkait munculnya virus tersebut.

Ada asumsi yang mengatakan bahwa virus Corona berasal dari daging hewan buas seperti kelelawar dan hewan buas lainnya yang dijual di pasar Wuhan. Namun, asumsi ini terbantahkan oleh karena di Indonesia juga terdapat sebuah pasar yang menjual daging hewan buas, tepatnya di daerah Manado. Tetapi masyarakat sekitar tidak menemukan atau mengalami gejala apapun yang berkaitan seperti gejala virus Corona.

Ada lagi asumsi yang menyebut bahwa virus Corona berasal dari bocornya laboratorium biologi di Wuhan sehingga menyebabkan munculnya virus Corona. Namun, asumsi tersebut belum ada yang menjamin kebenarannya dikarenakan belum ada bukti yang cukup kuat untuk mendukungnya.

Dalam KBBI, wabah memiliki arti sebagai penyakit menular yang berjangkit dengan cepat dan menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas. Wabah juga berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Waba’. Maknanya pun sama, sebuah penyakit menular dan berjangkit dengan cepat. Selain Al-Waba’, wabah dalam bahasa Arab juga disebut dengan istilah Tha’un.

Menurut Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ahli hadits madzhab Syafi’I yang terkemuka, menjelaskan bahwa Tha’un adalah “Suatu penyakit yang merusak lingkungan udara, merusak badan, dan menganggu ketenangan jiwa”. Syeikh Ibnu Hajar juga menyebut bahwa wabah/Tha’un adalah “suatu penyakit yang menyerang seluruh manusia dan terjadi di waktu yang bersamaan dengan jenis penyakit yang sama.”

Pada intinya, wabah memiliki pengertian yang sama. Baik menurut KBBI maupun menurut Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqalani, yaitu sebagai penyakit yang menular dengan cepat yang menyerang banyak umat manusia, baik muslim maupun non muslim, baik kaya maupun miskin, semua berisiko sama bisa terkena penyakit tersebut.

Dalam catatan sejarah, wabah pernah terjadi menyerang umat manusia, umat Islam salah satunya. Maka sudah bukan suatu keheranan ketika saat ini umat manusia diserang oleh sebuah wabah penyakit yang disebabkan oleh virus Corona. Dalam kitab Al-Adzkar An-Nawawiyah karangan Imam Nawawi dijelaskan dalam suatu fasal tentang wabah/Tha’un yang pernah melanda umat Islam. Abu Hasan Al-Madani sebagaimana dikutip Imam Nawawi menuturkan bahwasannya terdapat lima macam wabah/Tha’un yang terkenal pernah melanda, yaitu :

Pertama, Tha’un Syiruwaih yang melanda kota Madain pada tahun 6 H di masa Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Kedua, Tha’un Ammawas yang terjadi di masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab. Wabah ini melanda Negeri Syam dengan pusatnya berada di kampong kecil Ammawas. Wabah ini  memakan korban hingga puluhan ribu jiwa. Salah satu korban di antaranya adalah sahabat Rasulullah SAW, Muadz bin Jabbal.

Ketiga, Tha’un yang terjadi di masa Ibnu Az-Zubair pada bulan Syawal tahun 69 H. Wabah ini setiap harinya memakan korban hingga tujuh puluh ribu jiwa. Di antara korban jiwa tersebut adalah anak-anak dari sahabat Rasulullah, yaitu anak-anaknya Anas bin Malik dan anak-ananya Abdul Rahman bin Abi Bakrah banyak yang meninggal akibat wabah ini.

Keempat, Tha’un Al-Futyaat yang terjadi pada bulan Syawal tahun 87 H. Dinamakan Tha’un Al-Futyaat, menurut Ibnu Qutaibah, karena pada mulanya wabah ini menjangkit para gadis di kota Bashrah, Wasith, Syam dan Kuffah. Wabah ini juga dikenal dengan nama Tha’un Al-Asyraf karena wabah ini melanda orang-orang terhormat.

Kelima. Tha’un yang terjadi di Kota Sikkatul Marbad pada bulan Rajab tahun 131 H. Wabah ini semakin merebak pada bulan Ramadan. Setiap harinya, wabah ini menewaskan hingga seribu orang.

Dalam kitab Badzl Al-Ma’un Fi Fadhl At-Tha’un karangan Syeikh Ibnu Hajar al-Asqalani disebutkan bahwa pada tahun 794 H, sebuah wabah/Tha’un yang cukup mematikan pernah melanda kota Damaskus. Kemudian, seluruh umat Islam di Damaskus tersebut melakukan kegiatan doa bersama di tempat terbuka berharap agar wabah segera hilang. Namun, setelah kegiatan doa bersama itu dilakukan, bukannya hilang, wabah/Tha’un malah menjadi semakin besar dan mematikan. Padahal, sebelum diadakannya kegiatan doa bersama tersebut, wabah/Tha’un bisa terbilang masih dalam skala kecil.

Hal serupa juga pernah terjadi di Mesir, tepatnya di kota Kairo. Saat itu, tepatnya pada tanggal 27 Rabiul Akhir tahun 833 H terjadi sebuah wabah/Tha’un yang melanda kota tersebut. Sama halnya dengan di Damaskus, masyarakat Kairo membuat sebuah perkumpulan untuk berdoa bersama berharap agar wabah segera berakhir dan hilang, akan tetapi wabah tersebut malah menjadi semakin parah setelah kumpul bersama itu dilakukan.

Tadinya, jumlah orang yang meninggal disebabkan karena wabah tersebut hanya berkisar di bawah 40 orang. Namun, belum menginjak satu bulan setelah kegiatan doa bersama itu dilakukan, jumlah orang yang meninggal akibat wabah di kota Kairo bisa mencapai seribu orang dalam satu harinya dan semakin bertambah banyak.

Dari kasus wabah di Damaskus dan Kairo, kita dapat melihat bahwa wabah akan semakin merebak jika diadakan sebuah kegiatan yang mengandung unsur perkumpulan dan keramaian walaupun itu untuk berdoa bersama sekalipun. Maka dari itu, pemerintah mengimbau agar masyarakat menerapkan social distancing agar dapat memutus rantai penyebaran virus Corona sedikit demi sedikit. Sehingga kita semua bisa terbebas dari kekangan wabah virus Corona dan kembali berkativitas seperti biasa.

Menes, 6 Mei 2020

Ahmad Miftahul Farohi

Comments

Popular posts from this blog

Trauma pada Suara ‘Bentakan’?

  #DearSenjaBlogCompetition Beberapa hari yang lalu, saya menemukan sebuah postingan di Instagram tentang lomba menulis blog yang diselenggarakan oleh Dear Senja ( https://www.dearsenja.com/ ). Tema yang diusung cukup membuat saya tertarik untuk berpartisipasi dalam lomba tersebut. Alhasil, saya memutuskan untuk segera membuat tulisan ini. Ilustrasi | Sumber: Dokpri. Pada saat tulisan ini dibuat, saya masih seorang mahasiswa semester akhir yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi. Sebenarnya, saya bisa saja ngebut dalam mengerjakan tugas akhir saya ini karena menurut saya skripsi itu mudah. Hal yang membuatnya menjadi sulit adalah gangguan-gangguan yang sering datang ketika akan dan sedang mengerjakannya, dari godaan media sosial, hingga keadaan rumah yang seperti “neraka” bagi penghuninya. Seorang wanita Saya adalah seorang anak piatu. Ibu saya meninggal saat saya masih berusia tiga tahun. Setelah Ibu tak ada, saya diurus oleh Ayah seorang sampai pada akhirnya Ayah memutuskan u...

Belajar Data Science Lancar Tanpa Ngelag dengan ASUS Vivobook Pro 14 OLED (M3400)

Sebagai mahasiswa semester akhir, saya tentunya dituntut untuk memiliki skill yang akan digunakan dalam dunia kerja. Skill yang dibutuhkan sesuai jurusan saya adalah mengajar. Ya, mengajar. Hal itu dikarenakan saya berkuliah di jurusan yang amat sangat berkaitan dengan dunia pendidikan, tepatnya jurusan Pendidikan Matematika. ASUS Vivobook Pro 14 OLED | asus.id Namun sejujurnya, saya kurang begitu senang jika disuruh mengajar. Bukan karena tidak ikhlas atau sejenisnya. Melainkan karena tiap kali dipercaya untuk mengajar, saya merasa takut tidak bisa menjadi pengajar yang baik untuk siswa. Hal itu disebabkan oleh karena saya merasa bahwa kemampuan public speaking saya yang masih kurang dan jauh dari sempurna. Sehingga saya khawatir, bukannya membuat siswa betah dan nyaman dalam mengikuti proses pembelajaran, malah membuat siswa cenderung bosan dan malas untuk memerhatikan. Untuk itu, karena saya merasa sepertinya saya tidak bisa menjadi maksimal jika mengajar, maka saya berpikira...

Menyebarkan Kebahagiaan: Makna Berbagi Senyum Bersama Dompet Dhuafa Melalui Zakat

Ilustrasi seseorang sedang berzakat | Sumber: pixabay.com/ahmadi19 Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita terjebak dalam rutinitas yang membuat kita lupa akan pentingnya berbagi kebahagiaan. Sebagai masyarakat yang memiliki kepekaan sosial, kita harus selalu ingat bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang apa yang kita miliki, tetapi juga tentang apa yang kita berikan. Salah satu cara untuk berbagi kebahagiaan adalah melalui zakat dan program "30 Hari Jadi Manfaat" yang diinisiasi oleh Dompet Dhuafa . Zakat: Lebih dari Sekadar Kewajiban Sebagai seorang Muslim, zakat adalah bagian dari kewajiban agama yang harus dipenuhi. Namun, menurut penulis, zakat memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar kewajiban. Zakat adalah wujud dari kepedulian dan kasih penulisng kita terhadap sesama. Dengan menunaikan zakat, kita membantu meringankan beban mereka yang kurang beruntung dan memberikan mereka kesempatan untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Dompet Dhuafa...